Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GURU GEMBUL BENCI PADA KURIKULUM NASIONAL⁉️

Berikut adalah talkshow Guru Gembul pada kanal Gembul Shorts di youtube. Dengan menggunakan aplikasi GetSubtitles, maka dapat diubah dari suara ke teks. Ini hasil talkshow secara lengkap:



Talkshow Guru Gembul pada kanal Gembul Shorts


Kebencian saya terhadap kurikulum nasional itu bermula dari kegelisahan. Misalnya begini, kalau orang Papua dari pedalaman disimpan di Jakarta selama satu bulan, mereka masih bisa bertahan hidup. Tapi coba balik, orang Jakarta disimpan di pedalaman Papua selama satu minggu — bisa bertahan hidup enggak? Kalau tidak bisa, berarti justru orang Jakarta yang tidak berpendidikan.

Guru-guru itu sering terjebak — bahkan dijebak — dalam realitas yang legalistik. Jadi seolah-olah segala sesuatu itu hanya diukur dari seberapa taat pada aturan dan kurikulum. Padahal, banyak dari mereka hanya memiliki keragaman dalam menerima informasi. Mereka meremehkan belajar dari internet, dari Google misalnya, dan lebih mementingkan belajar dari guru karena dianggap lebih “berkah.”

Tapi persoalannya adalah, pendidikan yang diajarkan melalui kurikulum dan guru-guru kita itu banyak yang tidak relevan dengan kehidupan hari ini. Banyak materi yang diajarkan itu tidak aplikatif untuk kehidupan murid sekarang maupun masa depan.

Saya membenci kurikulum nasional karena saya merasa: ngapain murid-murid diajarkan materi yang ditulis 30 tahun lalu, sementara mereka akan hidup di masa 30 tahun mendatang? Mereka akan hidup di tahun 2045 — masa depan yang disebut-sebut sebagai era "Indonesia Emas." Tapi emasnya itu justru seperti “lemas,” karena isinya tidak mempersiapkan murid untuk masa depan mereka.

Anak-anak kita hidup di masa depan, tapi belajar dari materi lama. Bahkan materi yang saya pelajari saat SD dulu, sekarang masih diajarkan lagi. Misalnya: bentuk paruh burung pemakan daging itu seperti apa. Itu saya pelajari dulu, dan sekarang anak SD masih diajarin hal itu. Pertanyaannya: apa relevansinya dengan kehidupan mereka hari ini?

Kenapa dalam pelajaran IPA kita tidak membahas hal-hal yang sangat relevan seperti bahaya diabetes, efek konsumsi gula, atau dampak makanan instan? Bukannya itu yang penting? Tapi yang malah dibahas adalah bentuk paruh burung yang kita sendiri tidak pernah temui atau tidak berinteraksi langsung. Bahkan bukan burung itu yang makan kita, malah kita yang makan burungnya!

Kalau pun mau membahas lingkungan hidup, kenapa tidak bahas hewan yang hampir punah dan mengapa itu bisa terjadi — termasuk karena ulah manusia? Itu baru nyata, baru terasa dekat dan penting.

Jadi, pendidikan kita itu tidak relevan. Bahkan ketika anak-anak bertanya hal-hal yang realistis dan aktual hari ini, guru justru enggan menjawab. Mereka bilang, "Oh, itu tidak ada di buku," atau, "Itu bukan materi pelajaran." Padahal itulah yang relevan!

Sebaliknya, guru justru memaksakan materi yang sudah dikuasai sejak 10 tahun lalu. Mereka enggak mau keluar dari zona nyaman. Akhirnya, masa depan bangsa ini dipertaruhkan hanya karena guru-guru yang enggan berkembang, enggan beradaptasi.

Karena itu, secara demonstratif, saya pernah bilang ke murid-murid saya: “Ini buku? Yuk kita buang!” Tapi bukan dibuang ke tempat sampah karena nyampah juga. Kita jadikan pesawat kertas, kita terbangkan. Kita sisihkan dulu bukunya, lalu saya minta mereka mengajukan pertanyaan apapun yang ingin mereka diskusikan.

Dan ternyata, pertanyaan yang muncul itu sangat banyak dan beragam. Karena mereka dapat banyak informasi dari TikTok, YouTube, media sosial, tapi tidak punya ruang untuk memverifikasi atau mencari tahu mana yang benar, mana yang hoaks.

Akhirnya muncullah pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi bermakna seperti: “Pak, bener enggak sih kita harus minum 8 gelas air setiap hari?” atau pertanyaan lebih rumit tentang kandungan gula, karsinogen, dan lainnya. Mereka ingin tahu dunia mereka, dunia nyata, dunia hari ini. Tapi guru sering kali tidak siap menjawab — karena tidak ada di kurikulum.

Inilah inti dari keresahan seorang guru yang merasa pendidikan saat ini harus berubah. Bahwa anak-anak bukan hanya butuh pelajaran, tapi juga konteks, relevansi, dan keterhubungan dengan kehidupan nyata.

Jika kamu ingin, aku bisa bantu menyusun ini jadi artikel opini edukatif atau naskah pidato yang lebih formal. Mau dilanjutkan ke sana?

Makanya bukunya kita buang, karena pertanyaan-pertanyaan mereka itu harus dibahas. Dua jam, tiga jam, bahkan empat jam, waktu terasa tidak cukup. Bel sudah berbunyi, tapi murid-murid masih antusias bertanya. Akhirnya, kami bikin konten di YouTube.

Nah, itulah kenapa konten YouTube saya bervariasi. Awalnya itu muncul dari pertanyaan-pertanyaan random anak-anak yang tidak mau diakomodasi oleh guru-guru lain. Padahal waktu saya SD, kalau saya punya guru seperti saya sekarang, saya bisa bertanya macam-macam. Kadang pertanyaannya soal film. Misalnya: "Kenapa penjahat Satria Baja Hitam tidak langsung mengeroyok di awal episode?" Dulu itu jadi pertanyaan saya.

Itulah pentingnya literasi digital. Anak-anak sekarang tahu banyak hal, bahkan bisa lebih pintar dari guru mereka, karena akses terhadap informasi jauh lebih luas. Tapi mereka tetap butuh seseorang untuk mengonfirmasi informasi-informasi itu. Masalahnya, banyak guru yang gaptek.

Fakta menyedihkan: kurang dari setengah guru di Indonesia membuka Google untuk mencari informasi yang akan diajarkan. Bayangkan, Google saja enggak dibuka. Padahal bukan berarti guru harus tahu segalanya. Guru cukup punya keinginan untuk mencari tahu. Kalau murid bertanya, bisa bilang, “Oke, saya cari dulu jawabannya,” lalu dibahas bareng.

Sayangnya, ketidaktahuan guru sering dibungkus dengan istilah-istilah teologis seperti, “Belajar dari guru biar berkah.” Mereka seperti mengglorifikasi status mereka sebagai satu-satunya sumber ilmu.

Padahal ini logika berpikir yang keliru. Google itu bukan sumber informasi, tapi mesin pencari informasi. Kalau kita mencari "Gus Baha" di YouTube, kita tidak belajar dari YouTube-nya, tapi dari Gus Baha. Begitu juga ketika kita membaca Wikipedia — kita belajar dari penulis artikel itu, bukan dari Google.

Tapi banyak guru takut dengan internet. Mereka menganggap internet sebagai pesaing. Lalu muncul pernyataan sinis: "Belajar kok dari YouTube, dari Google." Padahal itu cuma alat bantu — bukan saingan guru.

Jadi memang ada kesalahan dalam cara berpikir kita. Termasuk ketika ada orang menonton stand-up comedy lalu bilang, "Ini kontennya enggak mendidik." Loh, memang tugas pelawak itu bukan untuk mendidik. Kalau mau cari pendidikan, ya cari guru atau sumber yang memang bertugas mendidik.

Pendidikan bukan tergantung pada media atau cara penyampaiannya. Bahkan candaan yang dianggap “tidak mendidik” bisa menjadi bahan pendidikan, tergantung pada siapa yang mendengarnya dan bagaimana dia menafsirkannya.

...memperhatikan sama sekali, tapi ternyata paham. Nah, ini yang sering kali dilupakan oleh sistem pendidikan kita — bahwa setiap manusia itu unik, spesifik, dan otentik.

Bahkan dari tayangan seperti Smackdown, yang katanya tidak mendidik, kita bisa belajar sesuatu. Misalnya: cara jatuh yang aman. Dari tayangan dokumenter pembunuh berantai pun, kita bisa belajar — bukan belajar membunuh, tentu — tetapi belajar tentang psikologi, bahaya ekstremisme, atau pentingnya empati. Semua tergantung bagaimana kita memaknai informasi itu.

Itulah kenapa dalam Kurikulum Merdeka, kata “merdeka” itu berarti kebebasan berpikir, bertindak, dan berlaku tanpa ketergantungan pada satu pola tunggal. Tapi seringnya ini dibenturkan dengan kenyataan di lapangan, di mana pendidikan masih terasa seperti doktrin — anak-anak tidak diarahkan untuk masa depannya, tetapi dipaksa mengikuti masa lalu sistem yang kaku.

Contohnya banyak. Anak yang ingin jadi atlet tidak diberi ruang, bahkan main futsal pun dilarang karena dianggap mengganggu les. Anak yang ingin jadi pelukis, gambarnya di buku malah diambil guru. Atau anak yang ingin jadi pelari hanya boleh lari seminggu sekali. Ini bukan mendidik, tapi membentuk mereka jadi pegawai masa depan — satu pola pikir yang seragam.

Lalu muncul pertanyaan penting: sekolah itu untuk siapa? Kalau jawabannya untuk murid, kenapa kurikulumnya justru ditentukan oleh negara? Seharusnya setiap murid boleh menyusun jalur belajarnya sendiri berdasarkan mimpi dan potensinya.

Nah, dari sini kita paham bahwa tidak semua hal harus dipelajari semua orang. Kurikulum seharusnya fleksibel, memungkinkan anak-anak memilih berdasarkan arah masa depannya. Tapi tentu saja proses ini tetap butuh pendampingan. Tidak langsung men-cap anak sebagai calon atlet atau seniman, tapi membiarkannya berproses dan mengeksplorasi.

Lebih jauh lagi, pendidikan juga harus mempertimbangkan realitas lokal. Anak di Jakarta tidak bisa disamakan dengan anak di Papua. Di Papua, untuk sampai ke sekolah saja anak-anak harus menghadapi medan berat: hutan, sungai, ular, gunung. Itu semua adalah pembelajaran kontekstual yang tidak terlihat oleh guru-guru di kota besar.

Makanya konyol kalau standar pendidikan nasional hanya berdasarkan realitas Jakarta. Harusnya Jakarta juga bisa menyesuaikan diri dengan standar Papua. Orang Papua bisa bertahan hidup di Jakarta, tapi belum tentu sebaliknya. Artinya, mereka punya kecakapan hidup yang luar biasa. Kalau kita tetap memakai standar tunggal, kita gagal menghargai keunikan itu.

Inilah pentingnya memberi ruang bagi setiap anak, setiap daerah, bahkan setiap keluarga untuk menentukan tujuan pendidikan mereka sendiri. Maka Kurikulum Merdeka mestinya tidak hanya slogan, tapi betul-betul memberi kebebasan belajar — dari konten, metode, hingga orientasi masa depan.

Salah satu hal mendasar adalah menyadari bahwa manusia belajar dengan cara berbeda-beda. Ada yang suka mendengarkan, ada yang mencatat, ada yang harus bergerak, ada yang harus praktik langsung. Tidak bisa semua dipaksa duduk diam dan menyimak. Standar tunggal itu berbahaya. Karena kita akhirnya mengukur semua orang dengan penggaris yang sama, padahal bentuk dan arahnya berbeda.

"Dia pilah, apa itu bisa menjadi pendidikan atau tidak. Jadi bahkan tokoh yang paling tidak inspiratif—pembunuh berantai, pemerkosa, apa segala rupa—ditayangkan ke publik, itu bisa menjadi sebuah pendidikan."

"Betul. Iya. Iya, iya. Iya kan? Gimana kita ngambilnya? Apa yang kita ambil dari situ? Gimana cara membunuh yang baik dan benar? Enggak, enggak, maksudnya... Jadi kayak nonton SmackDown, itu mungkin juga ada pendidikan yang bisa kita lihat: cara jatuh yang aman."

"Kok jatuh enggak sakit dia, gitu ya?"

"Seperti apa sih sebenarnya Kurikulum Merdeka itu?"

"Kurikulum Merdeka itu... Merdeka kan artinya kita berpikir, bertindak, berlaku tanpa ketergantungan pada pihak lain. Ini dibenturkan dengan realitas pendidikan zaman lampau yang sebenarnya adalah doktrin."

"Misalnya, saya mau pergi ke masa depan. Bagaimana caranya? Harus sekolah. Tapi sekolah itu tidak mengantarkan pada masa depan yang cerah. Kita enggak tahu arahnya."

"Misalnya saya ingin jadi pemain sepak bola handal, pas sekolah enggak boleh. Main futsal dimarahin. Sewa sendiri juga dimarahin karena mengurangi jam les."

"Anak SD gambar-gambar di bukunya langsung disita, enggak boleh. Harus nulis. Padahal mungkin dia ingin jadi pelukis. Atau ingin jadi pelari, dikasih kesempatan seminggu sekali."

"Itu bukan mendidik, itu mengarahkan ke masa depan sebagai pegawai."

"Kalau sekolah untuk murid, kenapa kurikulum dibuat oleh negara? Harusnya murid yang bikin."

"Kalau saya mau jadi ini, saya hanya belajar ini. Hidup, Pak Gur!"

"Tidak semua harus dipelajari. Harusnya tergantung pada spesifikasi tujuan masa depan anak. Tapi prosesnya tetap bertahap, biarkan anak memilih sendiri."

"Setiap anak, keluarga, daerah, provinsi, wilayah, berhak menentukan arah pendidikan."

"Misalnya anak Papua harus bertemu ular, mendaki gunung, menyeberang sungai untuk sekolah, itu semua adalah pembelajaran."

"Makanya saya marah kalau orang Papua disamaratakan standarnya dengan Jakarta. Padahal orang Papua bisa bertahan di Jakarta, orang Jakarta belum tentu bisa bertahan di Papua."

"Jadi kenapa bukan Jakarta yang disesuaikan dengan Papua?"

"Kita harus pahami manusia itu unik, otentik. Jangan disama-ratakan. Standar tunggal bisa menghakimi orang yang berbeda cara menyerap informasi."

"Ada yang mencatat, ada yang melamun tapi malah lebih banyak dapat informasi daripada baca buku."

"Apakah saya harus dihakimi sama seperti orang lain? Ya enggak."

"Metode belajar harus berdasarkan kecenderungan anak dan realitas kelas."

"Analogi sederhana: kalau saya mancing, saya pakai umpan yang disukai ikan—bukan makanan favorit saya seperti batagor. Begitu juga guru: pakai metode yang disukai anak, bukan metode yang disenangi guru."

"Lihat dulu kondisi anak, kelas, latar belakang. Dari situ buat kurikulum agar pembelajaran relevan."

"Jangan seperti anak Papua disuruh bikin tambak udang. Enggak nyambung."

"Di Jakarta, misalnya pembelajaran bisa dari aktivitas seperti sewa lahan parkir. Di Bogor bisa jadi kawasan wisata ramah lingkungan."

"Saya dulu ngantuk kalau baca. Sekarang ada audiobook. Jadi guru-guru harus melek teknologi, internet."

"Sayangnya, guru-guru sering salah paham. Kalau dengar 'kurikulum merdeka', langsung lesu karena merasa terbebani."

"Merasa harus download game, belajar aplikasi, dsb. Padahal bukan itu maksudnya."

"Kurikulum Merdeka bukan tentang platform dan aplikasi, tapi melihat kondisi anak, daerah, sekolah, lalu bikin kurikulum yang sesuai."

"Aplikasi itu alat bantu. Bukan jadi beban. Lihat realitas dulu, baru pilih aplikasi atau game yang relevan."

"Kalau ingin jadi arsitek atau ahli tata kota, bisa belajar pakai game The SIMS. Di situ belajar tata letak, listrik, air, transportasi."

"Kalau gagal, kotanya macet. Nah, mungkin karena yang bikin tata kota Jakarta dulu enggak main The SIMS. Hahaha."

"Atau belajar sejarah dari game seperti Medieval, dari pakaian tentara, struktur benteng, dan narasi sejarahnya."

Kadang kita terlalu kaku dalam memahami kurikulum. Padahal, mengajak anak-anak membuat video TikTok yang mendidik, misalnya, itu juga bentuk pembelajaran. Guru tidak selalu harus berpikir bahwa Kurikulum Merdeka menambah beban. Justru, pendekatan paling mudah untuk mengajar adalah menggunakan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Yang penting: relevan.

Contohnya, kenapa siswa SMP atau SMA yang nilai IPS-nya tinggi justru sering kali tidak pandai bersosialisasi? Bukankah seharusnya pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial bisa membuat seseorang lebih mahir bersosialisasi? Tapi yang terjadi justru sebaliknya—anak-anak yang nilainya bagus malah cenderung tertutup dan tidak mau dimintai tolong. Ini artinya, ada yang salah dalam pendekatan pendidikan kita.

Hal-hal yang terlihat “kebalik” ini muncul karena pengajaran yang tidak kontekstual. Misalnya, di satu daerah, ada anak dari keluarga miskin yang setiap hari membantu memandikan kerbau tetangganya. Kenapa pembelajarannya tidak dikaitkan saja dengan peternakan, pangan ternak, atau bahkan psikologi hewan?

Bisa jadi, suatu hari nanti, dia akan menjadi ahli peternakan sukses karena pengetahuan praktisnya yang sudah terbentuk sejak dini. Pendidikan seperti itu bukan berarti mengabaikan pelajaran lain, tetapi mengangkat potensi nyata yang dimiliki anak.

Jangan remehkan anak-anak dari keluarga miskin. Justru, kemiskinan bisa menjadi pemicu motivasi luar biasa untuk meraih kesuksesan. Tidak ada yang lebih termotivasi untuk menjadi kaya selain orang yang pernah hidup dalam kekurangan.

Arahkan cara berpikir mereka: “Kamu miskin? Dibully? Dihina? Mulai sekarang ubah pola pikir, pelajari teknologi, cari peluang, investasikan pengetahuan, bahkan beli Bitcoin kalau perlu.” Miskin bukan akhir, tapi justru awal perubahan.

Namun, masalahnya—banyak guru yang masih minim literasi digital. Mereka merasa teknologi adalah beban. Ketika ada pelatihan, mereka hadir. Tapi implementasinya? Nihil. Bahkan kadang guru honorer malah lebih aktif dan mengajarkan balik pada para guru senior.

Di sinilah peran penting lembaga seperti Kominfo. Jangan hanya menyuruh anak-anak “melek teknologi,” tapi dorong agar mereka menjadi bagian dari teknologi itu. Jangan cuma menonton YouTube, tapi ajari mereka jadi YouTuber. Jangan hanya konsumsi TikTok, tapi ajari produksi kontennya.

Lihat sekeliling kita. Apa saja yang benar-benar buatan Indonesia? Meja? Kursi? Bahkan mesin pembuat furnitur pun berasal dari luar negeri—Jerman, Cina, Belgia. Kita terlalu tergantung pada bangsa lain.

Maka, saat ada seruan “boikot produk Yahudi” atau demo anti-Amerika, jadi lucu sendiri. Karena aplikasi yang dipakai untuk menyebarkan pesan itu, seperti WhatsApp, buatan mereka juga. Kita mau demo anti perang, tapi semua alat bantu teknologinya berasal dari negara-negara yang justru ingin kita tentang. Ironis.

Ketergantungan ini bukan cuma soal ekonomi, tapi soal kedaulatan. Bahkan untuk menunjukkan sikap politik, kita harus mempertimbangkan posisi negara lain. Contohnya: kenapa kita tidak bisa membasmi pinjol ilegal? Karena server dan infrastrukturnya berasal dari luar negeri. Kita tak bisa menyentuh aktor utamanya. Jadi ujung-ujungnya, kita hanya bisa menonton sambil kesal sendiri.

Inilah saatnya sadar: kalau kita tidak adaptif terhadap teknologi, kita akan jadi penonton di tanah sendiri.

Bukan hanya digital, bahkan teknologi mekanik pun banyak yang kita tak kuasai. Coba duduk di depan gedung Kominfo, hitung berapa banyak mobil buatan Indonesia yang lewat? Hampir tidak ada. Kita masih naik mobil Jepang. Jadi, kalau ada gerakan anti-Jepang, siap-siap kembali naik becak atau odong-odong.

Kita tidak bisa bermimpi tentang masa depan, jika masa kini saja belum kita kuasai. Adaptasi terhadap dunia digital bukan pilihan, tapi kebutuhan mutlak. Jika tidak, bukan hanya kita akan ketinggalan zaman—tapi kita tidak akan pernah benar-benar merdeka.

Post a Comment for "GURU GEMBUL BENCI PADA KURIKULUM NASIONAL⁉️"