Sekolah Akan Tutup di 2037?
Pernahkah terbayang bahwa suatu hari sekolah-sekolah konvensional akan kehilangan muridnya dan terpaksa tutup? Mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, tapi jika kita melihat tren saat ini, bukan tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Dunia pendidikan terus berubah, dan jika sekolah tidak beradaptasi, mereka bisa tertinggal. Mari kita bahas berbagai tantangan yang dihadapi sistem pendidikan di Indonesia dan bagaimana masa depan sekolah di tengah era digital ini.
![]() |
Sekolah Akan Tutup di 2037? |
1. Kurikulum yang Tidak Relevan dengan Kebutuhan Zaman
Setiap beberapa tahun sekali, kurikulum pendidikan di
Indonesia berubah, sering kali mengikuti pergantian menteri. Akibatnya, para
guru dan siswa sering kali kebingungan menyesuaikan diri dengan sistem yang
baru. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024, kurikulum dirancang untuk lebih fleksibel dan adaptif.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak tantangan dalam penerapannya.
Sebagai contoh, dunia kerja saat ini semakin membutuhkan
keterampilan teknologi, berpikir kritis, dan problem solving. Sayangnya, banyak
sekolah masih terpaku pada hafalan dan ujian tertulis, tanpa memberikan ruang
bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Padahal, seharusnya
kurikulum bisa lebih berorientasi pada kebutuhan nyata di dunia industri dan
masyarakat.
2. Sekolah Gratis dengan Pengelolaan yang Kurang Efektif
Pemerintah telah menyediakan sekolah gratis untuk semua anak
melalui kebijakan pendidikan dasar dan menengah yang bebas biaya. Namun,
tantangan terbesar adalah pengelolaan yang belum optimal. Data dari Jendela
Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa pada tahun 2025, terdapat 216.580
sekolah dengan 44.583.557 siswa. Dengan jumlah sebesar itu, banyak sekolah
mengalami overkapasitas, sehingga kualitas pembelajaran menurun.
Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan
sering kali tidak dikelola secara efektif. Banyak sekolah yang kekurangan
fasilitas, sedangkan dana yang diberikan tidak selalu digunakan dengan tepat
sasaran. Akibatnya, meskipun sekolah gratis tersedia, kualitas pendidikan yang
diberikan belum optimal.
3. Sertifikasi Guru yang Berorientasi pada Formalitas
Sertifikasi guru seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan
kompetensi tenaga pendidik. Namun, dalam praktiknya, sertifikasi sering kali
hanya menjadi persyaratan administratif tanpa benar-benar mengasah keterampilan
mengajar. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor
47 Tahun 2023 telah menetapkan standar sertifikasi guru, tetapi implementasinya
masih menghadapi banyak kendala.
Banyak guru yang mengikuti sertifikasi hanya untuk memenuhi
syarat kenaikan pangkat atau tunjangan, tanpa mendapatkan pelatihan yang
benar-benar meningkatkan kualitas mengajar mereka. Akibatnya, kualitas
pendidikan tetap stagnan, sementara dunia terus berkembang dengan cepat.
4. Sistem Pendidikan yang Tidak Terintegrasi
Fragmentasi dalam sistem pendidikan juga menjadi kendala
besar. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa mayoritas penduduk
Indonesia yang berusia di atas 15 tahun memiliki ijazah SMA atau sederajat
(30,85%), sementara hanya 10,2% yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Ini
menunjukkan adanya hambatan besar dalam transisi dari jenjang sekolah menengah
ke perguruan tinggi.
Salah satu solusinya adalah membangun institusi pendidikan
terpadu dari PAUD hingga perguruan tinggi dalam satu sistem. Dengan model ini,
siswa bisa mendapatkan pendidikan yang lebih berkesinambungan tanpa harus
menghadapi ketidaksesuaian kurikulum atau administrasi yang berbelit-belit saat
berpindah jenjang pendidikan.
5. Dualisme Pengelolaan oleh Dua Kementerian
Saat ini, pendidikan dasar dan menengah berada di bawah
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sedangkan pendidikan
keagamaan berada di bawah Kementerian Agama. Dualisme ini sering menyebabkan
kebijakan yang tidak sinkron dan standar pendidikan yang berbeda-beda.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 menekankan
pentingnya standar pendidikan nasional yang seragam. Namun, tanpa koordinasi
yang baik antara kedua kementerian ini, banyak sekolah yang menghadapi
kebingungan dalam penerapan kebijakan dan standar pembelajaran.
6. Minimnya Fokus pada Keterampilan Berpikir Kritis dan
Kecakapan Hidup
Sistem pendidikan Indonesia masih terlalu berorientasi pada
hafalan dan ujian. Padahal, dunia kerja saat ini menuntut keterampilan berpikir
kritis, pemecahan masalah, dan komunikasi yang baik. Permendikbudristek No. 47
Tahun 2023 sebenarnya telah menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan yang
efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa, tetapi dalam praktiknya, hal
ini masih belum diterapkan secara luas.
Banyak siswa yang lulus dengan nilai akademik tinggi, tetapi
kurang memiliki keterampilan yang relevan dengan kehidupan nyata. Oleh karena
itu, pendidikan harus lebih diarahkan pada pengembangan soft skills, seperti
kepemimpinan, kreativitas, dan adaptasi terhadap perubahan.
7. Munculnya Sekolah Online yang Lebih Fleksibel dan
Personal
Kemajuan teknologi membawa tantangan baru bagi sekolah
konvensional. Saat ini, banyak platform pendidikan daring yang menawarkan
pembelajaran fleksibel dan dipersonalisasi. Siswa bisa belajar kapan saja dan
di mana saja, sesuai dengan kebutuhan dan kecepatan mereka sendiri.
Jika sekolah tradisional tidak segera beradaptasi dengan
teknologi, mereka bisa kehilangan relevansinya. Sekolah harus mulai
mengintegrasikan teknologi dalam metode pengajaran mereka, seperti menggunakan
video pembelajaran, kelas daring, dan metode hybrid yang menggabungkan
pembelajaran tatap muka dan online.
8. Ketimpangan Pendidikan antara Anak Kaya dan Miskin
Kesenjangan akses pendidikan antara kelompok ekonomi atas
dan bawah masih menjadi masalah serius. Anak-anak dari keluarga kaya memiliki
akses ke sekolah berkualitas tinggi dengan fasilitas lengkap, sedangkan
anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali harus berjuang mendapatkan
pendidikan yang layak.
Pemerintah telah mencoba mengatasi masalah ini melalui
program seperti Sekolah Rakyat yang digagas oleh Kementerian Sosial untuk
anak-anak miskin dan Sekolah Garuda untuk anak-anak berbakat dari keluarga
mampu. Namun, efektivitas program ini masih perlu dievaluasi agar benar-benar
bisa mengurangi ketimpangan pendidikan di Indonesia.
9. Sekolah Lebih Banyak Mencetak Pekerja daripada
Pengusaha
Sistem pendidikan Indonesia masih cenderung mencetak lulusan
yang siap bekerja, tetapi kurang menekankan pada kewirausahaan. Padahal, di era
digital ini, kemampuan untuk menciptakan peluang usaha sendiri sangat penting.
Kurikulum harus lebih banyak memasukkan pelajaran tentang kewirausahaan, manajemen keuangan, dan keterampilan bisnis. Dengan begitu, lulusan sekolah tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi juga bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.
Sekolah-sekolah konvensional memang menghadapi banyak
tantangan, tetapi ini bukan berarti mereka tidak bisa bertahan. Yang dibutuhkan
adalah reformasi yang nyata dalam sistem pendidikan agar tetap relevan dengan
perkembangan zaman. Kurikulum harus lebih fleksibel, guru harus mendapatkan
pelatihan yang lebih berkualitas, dan teknologi harus diintegrasikan ke dalam
sistem pembelajaran.
Jika tidak ada perubahan signifikan, bukan tidak mungkin
sekolah-sekolah akan kehilangan muridnya dan akhirnya tutup pada tahun 2037.
Namun, jika kita bisa beradaptasi dengan perubahan, masa depan pendidikan di
Indonesia masih bisa diselamatkan. Sekarang, pertanyaannya adalah: apakah kita
siap berubah?
Post a Comment for "Sekolah Akan Tutup di 2037? "
Terima kasih sudah berkunjung, silakan jika berkenan meninggalkan jejak digital di kolom komentar. Siapa pun anda yang berkunjung dan meninggalkan kata atau kalimat, semoga dimudahkan segala urusan dunianya dan masuk surga. Aaamiin.